Sabtu, 18 Agustus 2018

HARI ESOK AKAN KEMBALI

2014 KEMBARAN 2019

Hiruk pikuk politik hari ini tidaklah berbedah jauh dengan 2014 lalu,, ragam isu politik menuju 2019 kian masif dan eksesif mewarnai ruang virtual (dunia maya), isu2 lama tentang kedua capres di 2014 kemarin dijadikan sebagai senjata penetrasi lawan dn kemudian dihangatkan kembali untuk memersuasi kognisi kahlayak,,

Rasanya sulit untuk menghindar dari problem semacam ini,, karena ruang virtual (dunia maya) adalah ruang bebas berekspresi tanpa jeda, artinya di ruang itulah tidak ada dominasi atau hegomoni kekuasaan untuk membatasi ekspresi dari setiap pengguna,, pengguna (netizen) bebas nilai untuk berekspresi dilautan maya,,

2019 adalah kembaran 2014
Wajah pilpres 2019 diasumsikan sangat mirip dengan wajah pilpres 2014, hanya saja yang membedakannya adalah pendamping dari kedua capres,, isu2 politik yang bersileweran di jagad maya adalah isu2 lama yang suda usang, akan tetapi memiliki daya penetrasi yang kuat, sehingga panaskan kembali seakan terasa hangat dn baru keluar dari tempat produksi.

Perbedaan pertimbangan pilihan dari Jokowi dan Prabowo saat memilih pendamping mereka disaat-saat menit terakhir, pilihan itu memang berbeda dengan empat tahun yang lalu, dimana masing-masing kandidat capres jauh2 hari suda mendeklarasikan pasangan (cawapres) mereka sebelum satu minggu masuk tanggal penutupan pendaftaran,, berbeda dengan kali ini,, dimana masing-capres menentukan pendampingnya dimenit-menit terakhir penutupan pendaftaran di KPU.

Ada keunikan pilihan politik capres dn cawapres ditahun ini, dimana masing-masing kubu dari partai pengusung capres dan cawapres memiliki dinamika yang berbeda. Dari partai koalisi pengusung Jokowi jauh-jauh hari partai-partai politik suda menentukan sikap untuk mendukung Jokowi, namun capresnya ditentukan menit-terakhir.

Penentuan pilihan cawapres untuk mendampingi Jokowi terkesan hidup takmau matipun tak segan,, dua pilihan yang dihadapkan antara keinginan Jokowi dan Partai pengusung yang sulit ditafsirkan bagia khalayak.

Relasi kuasa politik yang menjadi titik kulminasi antara kepentingan elit partai politik dan harapan masyarakat pada ukuran elektabisitas cawapres, menjadikan Jokowi dilematis menentukan pilihannya. Ada anggapan bahwa ketika Jokowi dengan keperkasaan power dn elektabilitasnya mendominasi keinginan partai pengusung maka tentu membuka peluang untuk hadirnya poros ketiga dalam kontestasi elektoral pilpres kali ini.

Partai pengusung Jokowi juga barangkali memiliki pilihan politik yang berbeda, dalam prespektif komunikasi politik bisa dilihat bahwa ada pertimbangan sturktur peluang di 2024, sehingga tidak memungkinkan untuk memberi peluang bagi cawapres dari nonpartai untuk mendampingi Jokowi.

Artinya ketika cawapres dari nonpartai ketika dipilih untuk mendampingi Jokowi maka 2024 tentu menjadi peluang merahi tiket untuk membuka karpet merah menuju istana di 2024. Dengan demikian pilihan itu diserahkan kepada sosok yang suda senjah dn tentu dipastikan akan kompetitif lagi persaingan gejolak politik untuk periode berikutnya.

Alasan seperti inilah kemudian disederhanakan ke publik bahwa sosok yang suda senja mampu merangkul dn mendinginkan suasana politik, alasan yang medasar adalah akhir-akhir ini isu-isu agama menjadi tranding topik yang mewarnai jagad politik di tahun ini.

Lalu begimana dengan kubu penantang petahana, yakni Prabowo yang awalnya digadang-gadang mendampingi AHY, dimana menjelang penutupan pendaftaran di KPU, Prabowo dn SBY terus terjalin komunikasi secara intensif, dn publik menduga SBY berupaya menyatukan Prabowo dengan AHY, akan tetapi dugaan itu malah menjadi gejolak bagi partai PKS yang suda lama membangun komitment dengan Prabowo.

Menjelang diakhir menit setelah Jokowi dn partai pengusungnya mendeklarasikan pasangannya, kurang lebih berselang 3 jam kemudian Prabowo memberikan kejutan bagi publik, bahwa orang yang selama ini tidak masuk dalam daftar pencalonan cawapres Prabowo, kini nama cawapres yang usianya sangat muda, yang sering diidentikan dengan cawapres dari generasi melenial.

Disitulah menjadi efek kejut pada publik, namun pilihan Prabowo tidaklah mudah, mengalami dinamika yang hampir mirip dengan kubu Jokowi. Pilihan itu tentu ada pertimbangan yang matang, bisa diasumsikan bahwa pertimbangan pilihan cawapres Prabowo tentu mengarah pada harus cawapres yang paham ekonomi, juga mampu memberikan insentif elektoral untuk memenangkan pertarungan.

Pertimbangan yang saat ini suda mencuat dipermukaan adalah bagaimana mengait pemilih dari generasi melenial, karena pemilih melenial cukup banyak jumlahnya yang menjadi pertimbangan dalam pertaruangan elektoral kali ini.

Disinilah letak perbedaan dan persamaan dari kedua capres 2019 ini.

Jumat, 10 Agustus 2018

ANTARA CALEG 2019 dan EFEK EKOR JAS

Setelah kemenangan paslon kepala daerah, mulai dari gubernur, bupati dan walikota, apakah memberikan pengaruh pada calon2 legeslatif di pileg 2019,,,?

Disinilah saya menerawang dgn pendekatan teori efek ekor jas pada pemilih di maluku khususnya daerah kei yang cukup fluktuatif utk dipastikan arah voter (pemili) kemana akan berpihak, apakah dengan pendekatan, figur caleg, program, hingga pendekatan kultur, atau pendekatan simbol kekuasaan dalam hal ini kepala daerah yang menang pada pilkada kemarin sebagai hegemoni untuk meretas keberpihakan sikap politik warga terhadap caleg.

Pendekatan sosiologis dan psikologis menempatkan individu sebagai objek yang tidak dapat bertindak bebas karena ditentukan oleh struktur sosial dan aspek psikis atau disebut juga determinan, sementara pilihan rasional menempatkan individu sebagai aspek yang bebas dalam menentukan pilihannya.

Dengan struktur sosial dapat dimanfaatkan dan memudahkan para caleg untuk meraih suara masyarakat, dimana masyarakat yang ada dalam struktur sosial memiliki ikatan kohesi cukup kuat terhadap nilai-nilai yang diyakini selama ini. Sehingga memudahkan para caleg memanfaatkan struktur sosial sebagai suatu kekuatan untuk mendulang suara dari masyarakat.

Sehingga dalam komunikasi politik pemilih sosilogis sangat rentan dengan kesamaan kesamaan dirinya dengan caleg, mulai dari kesamaan kultur, daerah, hingga pada kesamaan keinginan dan stail terutama pada kelompok Y atau kelompok melenial.

Dama halnya dengan pemilih psikologis yang cendrung mengarah pada ideologis, sentimen pemilih tidk terpengaruh pada sejauh mana kecerdasan figur dn bagusnya program, namun lebih pada ideologis yang menjadi indikator pemilih utk menentukan pilihannya.

Biasanya pemilih model ini kebanyakan berasal dari kelompok yang terorganisir, seperti partai politik, kelompok agama yang kritis dan organisasi sejenisnya.

Sementara pemilih rasional lebih pada pertimbangan atau indokator indikator tertentu,, seperti program, kecerdasan figur, sepakterjang caleg, dan indikator rasional lainnya. Nah dalam model rasional kita kenal 4 pemilih yang berdasarkan pada pertimbangan tertentu.

Pemilih yang pertama adalah egosentris, adalah tipe pemilih yang menilai janji2 politik para caleg apakah sesuai dengan kebutuhannya atau tidak, yang kedua adalah pemilih sosiotropik adalah efaluasi pemilih umumnya atas keadaan yang terjadi saat ini, misalnya soal ekonomi dan kesejahtraan sosial.

Pemilih yang ketiga adalah retrospektif adalah pemilih yang memikirkan apa yang suda dilakukan caleg sperti yang dijanjikan. Faktor pemilih berikut adalah prospektif, terkait pemilih memikirkan apakah janji paslon kedepan bisa memperbaiki keadaan sekarang dengan program yang rasional atau tidak.

Dari 3 kategori pemilih tersebut dalam teori coat tail iffect pada pemiluh di daerah kei kita tahu bahwa peran kepala daerah sangat berpengaruh terhadap proses penentuan arah mana voter berpihak kepada caleg yang diusung partai,, terutama partai yang memenangkan konstestasi pilkada 27 Juni kemarin.

Pemilih sososilogis dan ideologis dgn pendekatan coat tail iffect, jika paslon yang memenangkan pilkada kemarin ketika mengibaskan ekor jas maka 40 - 50, maka cukup berpengaruh dengan pendekatan struktur peluang yang ada pada struktur sosial,, Akan tetap tidak berpengaruh dengan pemilih rasional.

Namun pemilih di daerah kei adalah pemilih kultural sangat berpotensi pada segmentasi pada pemilih sosiologis dan pemilih ideologis,, jadi coat tail iffect sangat berpengaruh pada arah pemilih kemana mereka berpihak pada calon yang dekat dengan pemenang kontestasi kemarin.

Sederhana dari coat tail iffect adalah pemilih cendrung berpihak pada kontestan pileg 2019 yang diusung partai yang mendukung paslon yang memenangi pertarungan 27 Juni kemarin. karena kemenangan paslon adalah berasal dari kekuatan simpul simpul dari masing masing caleg dari partai pengusung.

Jadi figur dari kepala daerah memiliki hubungan dengan partai politik pengusung dan caleg yang dekat dengan kepala daerah tentu memiliki simbol penetrasi yang baik pada saat berkampanye. Terutama kepala daerah yang berasal dari partai politik yang diusung yang juga merulakan kader dari partai politik tertentu.

Ini sangat memguntungkan partai politik dan calegnya. Sebab masyarakat yang senang dan suka pada kepala daerah terpilih tentu masyarakat akan suka dengan partai politik dimana kelapa daerah terpilih berasal.

Hal yang sangat menguntukan juga apabilah masyarakat yang suda terpolarisasi pilihan pada pilkada bulan juni kemarin tentu sampai saat ini masih berkesan dengan proses pilkada kemarin, terutama pada isu-isu yang bersifat sensitif bagi masyarakat dan berpengaruh psikologis pemilih tentu masyarakat secara kognitif akan menjadikan sebagai rujukan sikap politknya

Sehingga dari sentimen psikologis pemilih dari suasana pilkada kemarin terus dirawat maka kemungkinan besar sangat berpeluang, artinya mereka masi sama sama memiliki sentimen yang sama dalam kemenangan kemarin.

MENAKAR DISONANSI POLITIK ELITE PARTAI

Sejauh in komunikasi politik elit partai mengalami disonansi politik, mereka dihadapkan pada pilihan yang mengambang,, dn tentu komunikasi politik seperti it sulit utk dipahami pola dan modelnya bagi kita masyarakat awam,,,

Kita tdk bisa menafikan proses negosiasi antarpetinggi elit politik partai utk mencapai kesepakatan bersama, tentu kepentingan mereka harus diakomodir dlm proses negosiasi yg begitu panjang dan melelahkan pda akhirnya mendapat titik temu dipenghujung waktu,,,

Mengurai dn menganyam tali temali politik dapat pula membentuk kekuatan bepolar politik sperti 2014 lalu,, dn disini keunikan dua kekuatan politik in memperlihatkan simbolis politiknya yg dpt melabeli kemisri antarpasangan para konstestan

Dimana simbol politik it saling melabeli tuk meresonansi akar rumput,, kubu Jokowi menggandeng seorang ulama besar yang memberikan pesan politik kepada masyarakat bahwa mereka adalah pasangan yg representase dri Umaroh dan Ulama,

Sementara kubu Prabowo menggandeng figur muda yang energik, alim, dn santun, yang juga diidentikan dgn generasi milenial,, atau disederhanakan dari pasangan in adalah keterwakilan nasionalis dn melenialis relegius,,

Menjadi pertanyaan apakah dgn hadirnya dua kekuatan politik yg sarat dgn simbolis religus in dapat mereduksi suhu politik 2019 in,,? Sepertinya tdklah mudah utk kita menggunakan adigum religius utk meredam suhu politik yg sarat kepentingan para elit politik it sangatlah mustahil,

Banyak dramaturgi politik yang diperlihatkan elit politik mulai dari panggung belakang (negosiasi kepentingan) hingga panggung depan dgn mengelolah kesan2 stail dn oral politik yang penuh pencitraan semata,

Dramaturgi politik yang diperankan oleh para elit politik, menurut erving goffman adalah penciptaan panggung depan dan panggung belakang utk memersuasi pikiran orang lain,, sehingga jelas bahwa utk menjawab disonansi politik hari ini menjadi suatu keniscayaan politik yang tdk bisa terhindar dari isu2 yang mengarah pada proses melabeling figur2 kontestan yang bersifat lipstik semata.

Sehingga samaskali tidak berpengaruh positif terhadap masyarakat, artinya ini adalah demokrasi elektoral dimana masing2 dari kedua kekuatan politik ini berjibaku utk bagaimana cara memarketingkan personal branding dri kedua kontestan in dpt di terima oleh kahlayak dgn isu2 yg saling mengagitasi,,

Isu2 politik yang bergerak dri persoalan infrastrukt politik (ide dn gagasan, dn materi) hingga berujung pada personal kandidat menjadi bahan santapan yg terus di panas2sin dipermukan sebagai senjata yang paling ampuh tuk meretas kekuatan lawan politik. Inilah fakta politik hingga saat ini masi menjadi trand kampanye antarpendukung dri kedua kubu tersebut,,

Demokrasi elektoral kita in adalah demokrasi yang paling sulit dipastikan berjalan tanpa konflik, krn konflik bagi elit politik kita adalah instrument politik yang paling ampuh tuk membaca perkembangan kekuatan politik.

☕ yuk?

DIES NATALIS GMNI ke 66

REFLEKSI HARI LAHIR GMNI Kita harus berani mengoreksi diri dengan cara menghilangkan praktik-praktik yang mengkhianati prinsip Bhinneka...