Genderang perang kontestasi
electoral di kota Tual suda mulai memanas, walaupun masi 13 bulan lagi menuju
pemelihan. Namun dinamika politik suda mulai dirasakan oleh masyarakat kota
Tual. Proses kandidasi suda diwacanakan diberbagai kanal media sebagai
pencitraan, mulai dari media cetak, media eletronik, hingga media sosial dengan
tujuan pencitraan terhadap figure yang maju pada pemelihan serentak 2018.
Kanalisasi media dengan pola
pencitraan
Hampir semua figure yang diwacanakan
oleh masing-masing relawan maju bertarung di pilkada kota Tual dengan memanfaatkan
berbagai media untuk mensosialisasikan kandidat atau figure mereka dengan
menggunakan berbagai isu politik untuk mempengaruhi voters, mulai dari
incumbent hingga figure yang diwacanakan relawan sebagai penantang incumbent.
Pertarungan opini di kota Tual
saat ini kian masif dan eksesif ditengah beragam strategi persuasi oleh
masing-masing tim relawan dari figure yang diisukan tersebut. Bermunculan
propaganda hitam yang dilakukan tak hanya di jumpai pada media arus utama tapi
juga menyeruak pada ruang media sosial.
Pergulatan politik seperti ini
perlu membutuhkan kemampuan literasi politik yang baik untuk mempersuasifkan
citra positif ditengah-tengah khalayak, artinya megaduh strategi politik yang
baik untuk tidak hanya memperkuat kekuatan pada simpul-simpul tertentu, akan
tetapi juga bisa menetrasi basis yang mengambang.
Dalam prespektif komunikasi
politik, ada kampanye positif (positive
campaign) dan kampanye negatif (negative
campaign). Kampanye positif fokus pada upaya mempengaruhi presepsi dan
emosi khalayak yang berhubungan dengan hal positif dengan kandidat, yang
tujuannya menaikan popularitas figure tesebut. Sementara negative campaign berfokus pada isu atau wacana negatif untuk
mempengaruhi presepsi atau emosi klahayak dengan pola menyerang lawan politik.
tujuannya agar tingkat penerimaan, penolakan dan keterpilihan khlayak terhadap
fugur yang diwacanakan tersebut.
Menurut Michael dan Roxanne
Parrot dalam buku persuasive
communiacition campaign (1993) kampanye didefenisikan sebagai proses yang
rancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutanserta dilaksanakan dalam
rentang waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah
ditetapkan.
Untuk melihat potret pergulatan
opini yang dikemas oleh masing-masing tim relawan figure yang dijadikan sebagai
kandidat untuk bertarung pada pilkada kota tual, mulai dari tim relawan Adam
Rahayaan selaku incumbent dengan strategi pola bertahan, yakni apa yang suda
dilakukan maka terus dicitrakan, dan menepis isu-isu negatif dari lawan
politik. sementara tim relawan Basri Adlli Bandjar (mantan setda kota tual)
dengan strategi menyerang incumbent, pola isu yang dilancarkan adalah persoalan
pembangunan selama ini dijalankan oleh incumbent dinilai tidak mengalami
perubahan secara signifikan. Begitu juga dengan Yunus Serang (wabub Maluku
tenggara) yang juga diwacakan akan bertarung di pilkada kota Tual. Strategi isu
yang dimaikan juga memiliki pola yang sama dengan Basri Adlli Badjar, namun
agak pasif dalam mewacanakan keberhasilannya di kabupaten selama dua periode
selaku wakil bupati di kabupaten Maluku Tenggara.
Dari pergulatan oponi politik ini
memberikan sinyal bahwa ada kecendrungan opini publik yang dibentuk agar
mempengaruhi dan mengalihkan presepsi khalayak pada mainstream tertentu daripada target kelompok pengagitasi. Ini bisa
jadi akan mebentuk sikap disonansi kognitif dari kahalayak yang menjadi target
isu-isu negatif tersebut.
Namun kampanye moderen yang
positif agak jarang di tonjolkan oleh masing-masing tim relawan, sebagai modal
untuk menetrasi pemilih secara kognitif, yang memang tidak nampak sosialisasi
ide dan gagasan dipermukaan, kampanye moderen yang positif adalah bagaimana
masing-masing figure yang diwacanakan oleh tim tersebut tidak mewacanakan ide
dan gagasan seperti apa yang bisa disosialisasikan oleh para time time relawan
tersebut. Dan hal ini terjadi maka masyarakat akan ikut teredukasi secara
politik dengan baik, sehingga pada level kognitif (penetahuan) menjadi rujukan
sikap pada level afektif.
Isu atau wacana yang sering di
wacanakan adalah isu-isu negatif yang merupakan varian strategi menyerang
dengan tujuannya melemahkan lawan politik, namun dalam komunikasi politik
secara semiotic semakin tinggi serangan yang dilancarkan dengan wacana negatif
maka bukan lagi menimbulakn antipasti dari khalayak akan tetapi sebaliknya
menimbukan simpati terhadap dari khalayak terhadap lawan yang dijolimi.
Pemanfaatan konflik
Mengamati konflik di setiap
pilkada sesungguhnya tidak selalu negatif dan merusak. Dari prespektif teori
konflik, sosiologi Amerika Lewis Coser (1913-2003) dalam artikel Dr. Gungun
Herianto dengan judul Meredam Api Pilkada
memandang konflik tidak selalu merusak sistem sosial. Konflik dan integrasi
sebagai dua sisi yang memperkuat dan memperlemah satu dengan yang lain.
Coser membedakan dalam dua tipe
dasar konflik yakni konflik realistik dan non realistik. Konflik realistic
adalah konflik memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat material. Seperti
sengketa memperebut posisi kekuasaan yang berimbas pada pengelolaan kekuasaan.
Sehingga konflik semacam ini ketika usai pilkada maka proses sengketa pilkada
akan dilimpahkan pada ranah hukum.
Namun konflik nonrealistic adalah
konflik yang dimunculkan oleh keiginan yang tidak rasional yang cenderung
bersifat ideologis yang antara lain konflik antar kepercayaan, entnik hingga
agama. Konflik sejenis ini sulit menemukan solusi dan merajut perberdamain.
Kita tahu bahwa suhu politik di
kota Tual mulai memanas, diantara tim relawan dari masing-masing figure mulai
melancarkan serangan dengan memanfaatkan konflik internal figure yang
diwacanakan, mulai dari pencopotan Setada kota Tual (Adli Bandjar) oleh
Walikota Tual (Adam Rahayaan), hingga konflik perebutan ketua DPD II Golkar
kota Tual yang kopetitornya adalah Yunus Serang selaku wakil Bupati Maluku
Tenggara dan Fadila Rahwarin selaku ketua DPRD Kota Tual.
Dari konflik-konflik tersebut
dapat dimanfaatkan oleh masing-masing time relawan untuk mempersuasifkan proses
kandidasi demi mendapatkan citra positif dari khalayak. Akan tetapi koflik
tersebut bisa dipetakan dalam dua polah pemanfaatan konflik oleh masing-masing
time relawan, yakni koflik konstuktif dan konflik deskruktif.
Pemanfaatan koflik konstruktif dengan
tujuan sebuah kemajuan, artinya dengan adanya koflik maka bisa dapat
mempersuasifkan keadan politik dengan kesadaran bernegosiasi dan melahirkan
sebuah konsensi yang saling menguntukan. Sementara Konflik dekskrutif tidak
akan memberikan sebuah kepastian, karena tujuannya untuk memcahkan kongsi
kekuatan dan mensuport dengan sikap yang represif, disini yang sering menjadi
korban konflik politik adalah partisipasi dari masyarakat grassroots dan cenderung ideologis.
Kampanye pencitraan dengan polah
isu-isu negatif yang bersumber dari konflik personal figure yang diwacanakan
sampai pada kenerja walikota selama ini. Artinya seluru data dan infirmasi di
munculkan ke permukaan untuk mendelegitimasi lawan politik dan memungkinkan
untuk diperdebatkan pada ruang-ruang media arus utama sampai pada ruang-ruang
media sosial. Serangan bisa saja pada petahana Adam Rahayaan atau kepada Adli
Bandjar dan Yunus Serang.
Sementara itu kampanye hitam yang
juga sulit hindari yang diproduksi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawabkan atas rumor dan gossip yang tidak pasti sumber informasi. Namun tetap
digunakan sebagai senjata untuk memperlemah lawan politik. bahkan dengan isu
seperti ini sering bergerak pada operasi gelap dan tak tersentuh oleh proses
dialetika yang baik, biasanya pada media sosial sering diperankan oleh
akun-akun palsu yang identitasnya tidak jelas, dan ini sangat massif dilakukan.
Inilah disebut dengan prpoganda yang tidak professional dengan melahirkan
stigma buruk terhadap lawan-lawan politik.
Dari kondisi opini yang dikanalisasikan
tentu akan memiliki tujuan yang akan menjadi target dari semua competitor
politik yang tidak lain adalah mempengaruhi presepsi khalayak, namun kita tahu
seberapa jauh intensitas opini yang lancarkan kepada khalayak atau kelompok
target opinion tersebut.
Pergulatan opini seperti ini
dengan tujuan mempengaruhi opini publik maka pada titik kulminasi suda pasti
ada tingkat penolakan dan penerimaan dari khlayak akibat opini yang
diwacanakan. Maka saatnya mulailah para relawan dari figure yang diwacanakan
seharusnya tidak lagi mewacakan isu-isu negatif yang mengaharah pada
penghakiman terhadap lawan politik tertentu dan setidaknya dari masing-masing
competitor politik memberikan literasi politik yang baik kepada khlayak agar
khlayak tidak terdisonansi dengan isu-isu yang memiliki efek domino dan
melahirkan konflik yang berkepanjangan.