Jumat, 20 Maret 2020

MERANGKUL KELOMPOK MARGINAL, MENGUATKAN PARTSIPASI POLITIK

MEMPERTEGAS KOHESI KEKELUARGAAN 
DALAM DEMOKRASI ELECTORAL


(Samdar Rery)

Dambaan setiap orang untuk menghadirkan keharmonisan keluarga adalah cita-cita bagi setiap orang, keinginan memupuk solidaritas keluarga menjadi harapan dan impian yang selalu terlintas dibenak siapa saja, akan tetapi harapan tersebut bukanlah hal mudah seperti membalik telapak tangan.

Keluarga adalah entitas sosial yang menjadi kekuatan atau basis sosial yang perlu dijaga dan dilestariakan dengan baik. Karena dengan ikatan keluarga merupakan salah satu modal sosial yang memberikn dampak positif terhadap dinamika sosial, ini perlu dibina dan dilestarikan dengan baik.

Kini salah satu fenomenah sosial yang selalu muncul pada saat momentum demokrasi adalah pergantian kepalah daerah limah tahunan. Mulai dari pencalonan Gubernur, Bupati, Walikota, selalu saja terjadi perdebatan sengit yang mengedepankan kepentingan kelompok tertentu.

Persoalan yang mendasar ketika menjelang perhelatan dan pergantian kepemimpinan di daerah, disini terlihat kepentingan politik mengalir sedemikian rupa hingga mengabaikan rasionalitas dan keluarga di tengah-tengah masyarakat homogen. Sehingga mengakibatkan kohesi keluarga menjadi pudar, bahkan diabaikan demi perebutan kekuasaan politik semata. Ini mencerminkan atmosfer politik yang arahnya berlawanan dengan norma dan nilai-nilai adat yang ada di setiap daerah, terutama di Papua.

Politik Mereduksi Kohesi Keluarga

Mengamati sirkulasi pergulatan kekuasaan di Papua, terdapat 11 Kabupaten Kota yang ikut pemelihan kepala daerah pada 2020, tentu membutuhkan konsentrasi penuh dari pihak penyelenggara dalam hal ini KPUD dan BAWASLU Papua. Sebab proses pemilihan kepala daerah di Papua pada umumnya sering terjadi konflik yang sulit teratasi, konflik yang sering terjadi mulai dari konflik rasional hingga koflik irasional. 

Konflik rasional sangat berkaitan dengan konflik konstruktif yang dapat memberikan pengaruh positif pada proses pemelihan, dalam hal persoalan yang berkaitn dengan regulasi dsb, namun yang menjadi kekahwatiran adalah konflik irasional atau konflik destruktif, konflik semacam ini tentu sangat rentan terjadi pada saat proses pemelihan, dimana konflik sulit diselesaikan, dan cenderung ideologis, sehingga membutuhkan waktu yang panjang untuk mengatasi. Nah konflik semacam ini sering terjadi di daerah Papua. 

Di Papua banyak sekali terjadi persoalan yang patut diperhatikan. Yang menjadi embrio retaknya kohesi kekeluargaan adalah persoalan politik kekuasaan. Dimana elit-elit politik banyak sekali berasal dari kalangan keluarga, mulai dari paman, bibi atau ponakan yang bahkan sebagaian pendukung dari rifalitas tertentu, tetapi juga sebagian dari mereka maju sebagai calon gubernur, bupati dan walikota.

Mereka memiliki kepentingan masing-masing maju sebagai kandidat untuk memperebutkan jabatan atau kekuasaan sebagai kepala daerah, kita tahu bahwa homogenitas kultur di Papua memiliki kohesi yang cukup kuat akan tetapi kehadiran para kompetitor politik kekuasaan yang terkesan parokial tersebut dapat mereduksi kohesi atau ikatan keluarga. Mulai dari level elit politik hingga sampai pada level grassrut atau keluarga sebagai kelompok pendukung.

Dalam proses komunikasi politik problem tersebut selalu saja mengabaikan keluarga bahkan terjadi dilematis dan konflik berkepanjangan. Konflik semacam ini mindstreamnya berkutat  pada kepentingan pragmatis semata dan mengabaikan rasionalitas sebagai dasar pijak. Artinya masing-masing kelompok kepentingan memiliki ideologi praktis yang tujuannya hanya pada kepentingan pragmatis semata, dan mengakibatkan dekadensi (kemerosotan moral) diatara sesama.

Sehingga para elit politik dan keluarga masing-masing menampilkan ketidak keharmonisan komunikasi, baik komunikasi verbal maupun nonverbal, dimana interaksi diantara mereka dipertontonkan ditengah-tengah masyarakat luas yang tidak mencerminkan pelaku komunikator politik yang baik, juga sering terjadi interkasi saling menyapa akan tetapi secara semiotika terkesan komunikasi yang pasif dan memberikan pesan ketidakpekaan pada saat berinteaksi.

Dalam kondisi ini sangat diskursif dan terlihat fluktuasi komunikasi bahwa keluarga baik pendukung maupun kontra mengalami disonansi kognitif dan terjadi pelanggaran harapan sebagaimana dijelaskan oleh Jude Burgoon dengan teorinya Expectation Violatioan. Teori pelanggaran harapan memandang bahwa dalam hal ini individu atau kelompok masyarakat menemukan performance elit lokal baik dalam komunikasi verbal maupun nonverbal tidak sesuai dengan harapan mereka.

Sedangkan dalam teori disonansi kognitif yang dikembangkan oleh Leon Festinger menjelaskan situasi psikis yang tidak menyenangkan sebagai akibat kesadaran bahwa mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang telah diketahui sebelumnya atau berbeda dengan opini kebanyakan orang. Disinilah letak disonansi kognitif pada masyarakat evav pada saat mengahadapi gempuran antara politik kekuasaan dan kohesi kekeluargaan. Kerangka berfikir selalu ada pada pilihan yang ambigu.

Dalam kosmologi masyarakat Papua bahwa pelanggaran harapan terjadi maka akan memunculkan turbulence komunikasi yang dapat melahirkan ketidak harmonisan diantara para elite politik lokal dan keluarga atau masyarakat yang ada di Papua, bahkan dapat memicu konflik irasional yang berkepanjangan. Konflik semacam ini hampir semua distrik yang ada Papua mengalami hal yang sama, dan konflik seperti ini juga sulit untuk diselesaikan dalam jangka waktu singkat. Dampak dari ketidakharmonisan ini berawal dari proses pergulatan kekuasaan dan dapat mereduksi makna dari kohesi kekeluargaan. Sehingga kegagalan komunikasi politik yang ditransformasikan oleh para competitor politik memberikan implikasi buruk terhadap nilai-nilai budaya yang ada di Papua.

Maka dapat dipahami bahwa dalam proses komunikasi yang berlangsung antara elite politik lokal dengan keluarga dan masyarakat setempat secara keseluruhan mengalami situasi tidak nyaman bahkan tidak harmonis diantara mereka, baik sesama elit lokal, elit lokal dengan keluarga atau masyarakat maupun antara keluarga dengan keluarga dan antarkelompok masyarakat.

Kegiatan politik termasuk melakukan komunikasi politik sarat dengan kepentingan dan mengabaikan ikatan-ikatan kekeluargaan. Sehingga kepentingan yang dimaksud disini adalah pragmatis dan cenderung orientasi keuntungan praktis yang diambil dari masyarakat atau kelompok yang tendensius tersebut.

Yang menjadi krusial dari problematika politik elit lokal adalah para elit politik lokal menjadikan keluarga sebagai objek politik semata, (bukan sebagai subjek politik) yang hanya diarahkan untuk kepentingan pragmatis belaka, namun setelah mendapat apa yang menjadi tujuan akhir dari politik maka keluarga dan lawan politik diabaikan. Seharusnya keluarga dijadikaan sebagai subjek politik, sehingga ada politik pencerahan yang mengedepankan etika komunikasi politik diantara sesama dan menyatukan segala perbedaan.


Transformasi Pesan Politik

Dalam komunikasi politik dapat dicermati bahwa para komunikator politik gagal mentrasformasikan pesan politik yang baik terhadap masyarakat dan keluarga bahkan orang-orang ada disekitarnya. Pesan politik yang ditransformasikan adalah politik praktis yang cenderung mengarah pada uapaya untuk menguasai dan melemahkan lawan politik ketika menjadi pengendali daerah dalam hal ini bupati dan walikota.

Dari kondisi demikian dapat dicermati bahwa para elit politik lokal dengan polah komunikasi yang bersifat asimetris seperti ini juga melahirkan budaya baru yang mengedepankan kepentingan sesaat dan melemahkan kohesi pada nilai-nilai budaya dan adat yang ada. Sehingga juga berimplikasi pada reduksinya mentalitas pembangunan di daerah. Akibat tidak terkoneksinya budaya dan norma-norma adat sebagai modal sosial tersebut.

Maka yang terjadi pada masyarakat dan keluarga yang berlawanan arus mengalami apa yang disebut lingkar kebisuan. Meminjam istilah dalam bukunya Anwar Arifn yakni Opini Publik menjelaskan konsep the spiral of silence bahwa individu mengalami ketakutan dengan adanya tekanan dari lawan politik, maka membuat individu tersebut membisu dan tak berdaya dalam hal apatis saat merespon proses pembangunan di daerah. Masyarakat dan keluarga yang berlawanan tidak berpartisipasi pada proses pembangunan kedepan. Salah satu kegagalan pembangunan daerah adalah ketidakikutsertaan masyarakat dalam mendorong terciptanya pemerintahan yang baik (good governace).

Hal ini perlu adanya literasi dan praktik komunikasi politik yang mengedukasi masyarakat untuk meruba pradigma politik yang sedang kronis tersebut, dan dibutuhkan peran tokoh sentral dari masing-masing kelompok yang dikategorikan sebagai komunikator politik elit lokal harus mentrasformasikan pesan-pesan politik yang dapat memersuasi polah pikir masyarakat menuju masyarakat yang mencerminkan masyarakat yang berbasis adat yang menjunjung tinggi nilai dan norma kebersamaan dalam berpolitik, sehingga kedewasaan berpolitik dan memahami nilai dan norma-norma adat dapat terintegrasi dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIES NATALIS GMNI ke 66

REFLEKSI HARI LAHIR GMNI Kita harus berani mengoreksi diri dengan cara menghilangkan praktik-praktik yang mengkhianati prinsip Bhinneka...