Samdar Rery
Dambaan setiap orang untuk menghadirkan keharmonisan
keluarga adalah cita-cita bagi setiap orang, keinginan memupuk solidaritas
keluarga menjadi harapan dan impian yang selalu terlintas dibenak siapa saja,
akan tetapi harapan tersebut bukanlah hal mudah seperti membalik telapak tangan.
Keluarga adalah entitas sosial yang menjadi kekuatan atau
basis sosial yang perlu dijaga dan dilestariakan dengan baik. Karena dengan
ikatan keluarga merupakan salah satu modal sosial yang memberikn dampak positif
terhadap dinamika sosial, ini perlu dibina dan dilestarikan dengan baik.
Kini salah satu fenomenah sosial yang selalu muncul pada
saat momentum demokrasi adalah pergantian kepalah daerah. Mulai dari pencalonan
Gubernur, Bupati, Walikota, selalu saja terjadi perdebatan yang mengedepankan
kepentingan kelompok tertentu.
Persoalan yang mendasar ketika menjelang perhelatan dan
pergantian kepemimpinan di daerah, disini terlihat kepentingan politik mengalir
sedemikian rupa hingga mengabaikan rasionalitas dan keluarga di tengah-tengah
masyarakat homogen. Sehingga mengakibatkan kohesi keluarga menjadi pudar bahkan
diabaikan demi perebutan kekuasaan politik di daerah. Ini mencerminkan atmosfer
politik yang arahnya berlawanan dengan norma dan nilai-nilai adat yang ada di
negeri evav.
Politik Mereduksi Kohesi Keluarga
Mengamati sirkulasi pergulatan kekuasaan di daerah, maka
dalam konteks Maluku dan pada khusunya kota Tual dan kabupaten Maluku Tenggara,
banyak sekali terjadi persoalan yang patut diperhatikan. Yang menjadi embrio
retaknya kohesi kekeluargaan adalah persoalan politik kekuasaan. Dimana
elit-elit politik banyak sekali berasal dari kalangan keluarga, mulai dari
paman, bibi atau ponakan yang bahkan sebagaian pendukung dari rifalitas
tertentu, tetapi juga sebagian dari mereka maju sebagai calon gubernur, bupati
dan walikota.
Mereka memiliki kepentingan masing-masing maju sebagai
kandidat untuk memperebutkan jabatan atau kekuasaan sebagai bupati dan walikota
di bumi evav, kita tahu bahwa homogenitas kultur di negeri evav memiliki kohesi
yang cukup kuat akan tetapi kehadiran para kompetitor politik kekuasaan yang
terkesan parokial tersebut dapat mereduksi kohesi atau ikatan keluarga. Mulai
dari level elit politik hingga sampai pada level grassrut atau keluarga sebagai
kelompok pendukung.
Dalam proses komunikasi politik problem tersebut selalu
saja mengabaikan keluarga bahkan terjadi dilematis dan konflik berkepanjangan.
Konflik semacam ini mindstreamnya berkutat pada kepentingan pragmatis
semata dan mengabaikan rasionalitas sebagai dasar pijak. Artinya masing-masing
kelompok kepentingan memiliki ideologi praktis yang tujuannya hanya pada
kepentingan pragmatis semata, dan mengakibatkan dekadensi (kemerosotan moral)
diatara sesama.
Sehingga para elit politik dan keluarga masing-masing
menampilkan ketidak harmonisan komunikasi, baik komunikasi verbal maupun
nonverbal, dimana interaksi diantara mereka dipertontonkan ditengah-tengah
masyarakat luas yang tidak mencerminkan pelaku komunikator politik yang baik,
juga sering terjadi interkasi saling menyapa akan tetapi secara semiotika
terkesan komunikasi yang pasif dan memberikan pesan ketidakpekaan pada saat
berinteaksi.
Dalam kondisi ini sangat diskursif dan terlihat fluktuasi
komunikasi bahwa keluarga baik pendukung maupun kontra mengalami disonansi
kognitif dan terjadi pelanggaran harapan sebagaimana dijelaskan oleh Jude
Burgoon dengan teorinya Expectation Violatioan. Teori
pelanggaran harapan memandang bahwa dalam hal ini individu atau kelompok
masyarakat menemukan performance elit lokal baik dalam komunikasi verbal maupun
nonverbal tidak sesuai dengan harapan mereka.
Sedangkan dalam teori disonansi kognitif yang dikembangkan
oleh Leon Festinger menjelaskan situasi psikis yang tidak menyenangkan sebagai
akibat kesadaran bahwa mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa
yang telah diketahui sebelumnya atau berbeda dengan opini kebanyakan orang.
Disinilah letak disonansi kognitif pada masyarakat evav pada saat mengahadapi
gempuran antara politik kekuasaan dan kohesi kekeluargaan. Kerangka berfikir
selalu ada pada pilihan yang ambigu.
Dalam kosmologi masyarakat evav bahwa pelanggaran harapan
terjadi maka akan memunculkan turbulence komunikasi yang dapat melahirkan
ketidak harmonisan diantara para elite politik lokal dan keluarga atau
masyarakat yang ada di negeri evav, bahkan dapat memicu konflik irasional yang
berkepanjangan. Konflik semacam ini hampir semua desa yang ada dinegeri evav
mengalami hal yang sama, dan konflik seperti ini juga sulit untuk diselesaikan
dalam jangka waktu singkat. Dampak dari ketidakharmonisan ini berawal dari
proses pergulatan kekuasaan dan dapat mereduksi makna dari kohesi kekeluargaan.
Sehingga kegagalan komunikasi politik yang ditransformasikan oleh para
competitor politik memberikan implikasi buruk terhadap nilai-nilai budaya yang
ada di negeri evav.
Maka dapat dipahami bahwa dalam proses komunikasi yang
berlangsung antara elite politik lokal dengan keluarga dan masyarakat setempat
secara keseluruhan mengalami situasi tidak nyaman bahkan tidak harmonis
diantara mereka, baik sesama elit lokal, elit lokal dengan keluarga atau
masyarakat maupun antara keluarga dengan keluarga dan antarkelompok masyarakat.
Kegiatan politik termasuk melakukan komunikasi politik
sarat dengan kepentingan dan mengabaikan ikatan-ikatan kekeluargaan dengan falsafa
avav ain ni ain. Sehingga kepentingan yang dimaksud disini adalah
pragmatis dan cenderung orientasi keuntungan praktis yang diambil dari
masyarakat atau kelompok yang tendensius tersebut.
Yang menjadi krusial dari problematika politik elit lokal
adalah para elit politik lokal menjadikan keluarga sebagai objek politik
semata, (bukan sebagai subjek politik) yang hanya diarahkan untuk kepentingan
pragmatis belaka, namun setelah mendapat apa yang menjadi tujuan akhir dari
politik maka keluarga dan lawan politik diabaikan. Seharusnya keluarga
dijadikaan sebagai subjek politik, sehingga ada politik pencerahan yang
mengedepankan etika komunikasi politik diantara sesama dan menyatukan segala
perbedaan.
Transformasi Pesan Politik
Dalam komunikasi politik dapat dicermati bahwa para
komunikator politik gagal mentrasformasikan pesan politik yang baik terhadap
masyarakat dan keluarga bahkan orang-orang ada disekitarnya. Pesan politik yang
ditransformasikan adalah politik praktis yang cenderung mengarah pada uapaya untuk
menguasai dan melemahkan lawan politik ketika menjadi pengendali daerah dalam
hal ini bupati dan walikota.
Dari kondisi demikian dapat dicermati bahwa para elit
politik lokal dengan polah komunikasi yang bersifat asimetris seperti ini juga
melahirkan budaya baru yang mengedepankan kepentingan sesaat dan melemahkan
kohesi pada nilai-nilai budaya dan adat yang ada. Sehingga juga berimplikasi
pada reduksinya mentalitas pembangunan di daerah. Akibat tidak terkoneksinya
budaya dan norma-norma adat sebagai modal sosial tersebut.
Maka yang terjadi pada masyarakat dan keluarga yang
berlawanan arus mengalami apa yang disebut lingkar kebisuan. Meminjam istilah
dalam bukunya Anwar Arifn yakni Opini Publik menjelaskan
konsep the spiral of silence bahwa individu mengalami
ketakutanakan dengan adanya tekanan dari lawan politik, maka membuat individu
tersebut membisu dan tak berdaya. Sehingga masyarakat dan keluarga yang
berlawanan tidak berpartisipasi pada proses pembangunan kedepan. Salah satu
kegagalan pembangunan daerah adalah ketidakikutsertaan masyarakat dalam
mendorong terciptanya pemerintahan yang baik (good governace).
Hal ini perlu adanya literasi politik untuk meruba pradigma
politik yang sedang kronis tersebut, dan dibutuhkan peran toko sentral dari
masing-masing kelompok yang dikategorikan sebagai komunikator politik elit
lokal harus mentrasformasikan pesan-pesan politik yang dapat memersuasi polah
pikir masyarakat menuju masyarakat yang mencerminkan masyarakat yang berbasis
adat yang menjunjung tinggi nilai dan norma kebersamaan dalam berpolitik,
sehingga kedewasaan berpolitik dan memahami nilai dan norma-norma adat dapat
terintegrasi dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar