Selasa, 11 Juli 2017

PERTARUNGAN OPINI DI PILKADA KOTA TUAL


Genderang perang kontestasi electoral di kota Tual suda mulai memanas, walaupun masi 13 bulan lagi menuju pemelihan. Namun dinamika politik suda mulai dirasakan oleh masyarakat kota Tual. Proses kandidasi suda diwacanakan diberbagai kanal media sebagai pencitraan, mulai dari media cetak, media eletronik, hingga media sosial dengan tujuan pencitraan terhadap figure yang maju pada pemelihan serentak 2018.
Kanalisasi media dengan pola pencitraan
Hampir semua figure yang diwacanakan oleh masing-masing relawan maju bertarung di pilkada kota Tual dengan memanfaatkan berbagai media untuk mensosialisasikan kandidat atau figure mereka dengan menggunakan berbagai isu politik untuk mempengaruhi voters, mulai dari incumbent hingga figure yang diwacanakan relawan sebagai penantang incumbent.
Pertarungan opini di kota Tual saat ini kian masif dan eksesif ditengah beragam strategi persuasi oleh masing-masing tim relawan dari figure yang diisukan tersebut. Bermunculan propaganda hitam yang dilakukan tak hanya di jumpai pada media arus utama tapi juga menyeruak pada ruang media sosial.
Pergulatan politik seperti ini perlu membutuhkan kemampuan literasi politik yang baik untuk mempersuasifkan citra positif ditengah-tengah khalayak, artinya megaduh strategi politik yang baik untuk tidak hanya memperkuat kekuatan pada simpul-simpul tertentu, akan tetapi juga bisa menetrasi basis yang mengambang.
Dalam prespektif komunikasi politik, ada kampanye positif (positive campaign) dan kampanye negatif (negative campaign). Kampanye positif fokus pada upaya mempengaruhi presepsi dan emosi khalayak yang berhubungan dengan hal positif dengan kandidat, yang tujuannya menaikan popularitas figure tesebut. Sementara negative campaign berfokus pada isu atau wacana negatif untuk mempengaruhi presepsi atau emosi klahayak dengan pola menyerang lawan politik. tujuannya agar tingkat penerimaan, penolakan dan keterpilihan khlayak terhadap fugur yang diwacanakan tersebut.
Menurut Michael dan Roxanne Parrot dalam buku persuasive communiacition campaign (1993) kampanye didefenisikan sebagai proses yang rancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutanserta dilaksanakan dalam rentang waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.
Untuk melihat potret pergulatan opini yang dikemas oleh masing-masing tim relawan figure yang dijadikan sebagai kandidat untuk bertarung pada pilkada kota tual, mulai dari tim relawan Adam Rahayaan selaku incumbent dengan strategi pola bertahan, yakni apa yang suda dilakukan maka terus dicitrakan, dan menepis isu-isu negatif dari lawan politik. sementara tim relawan Basri Adlli Bandjar (mantan setda kota tual) dengan strategi menyerang incumbent, pola isu yang dilancarkan adalah persoalan pembangunan selama ini dijalankan oleh incumbent dinilai tidak mengalami perubahan secara signifikan. Begitu juga dengan Yunus Serang (wabub Maluku tenggara) yang juga diwacakan akan bertarung di pilkada kota Tual. Strategi isu yang dimaikan juga memiliki pola yang sama dengan Basri Adlli Badjar, namun agak pasif dalam mewacanakan keberhasilannya di kabupaten selama dua periode selaku wakil bupati di kabupaten Maluku Tenggara.
Dari pergulatan oponi politik ini memberikan sinyal bahwa ada kecendrungan opini publik yang dibentuk agar mempengaruhi dan mengalihkan presepsi khalayak pada mainstream tertentu daripada target kelompok pengagitasi. Ini bisa jadi akan mebentuk sikap disonansi kognitif dari kahalayak yang menjadi target isu-isu negatif tersebut.
Namun kampanye moderen yang positif agak jarang di tonjolkan oleh masing-masing tim relawan, sebagai modal untuk menetrasi pemilih secara kognitif, yang memang tidak nampak sosialisasi ide dan gagasan dipermukaan, kampanye moderen yang positif adalah bagaimana masing-masing figure yang diwacanakan oleh tim tersebut tidak mewacanakan ide dan gagasan seperti apa yang bisa disosialisasikan oleh para time time relawan tersebut. Dan hal ini terjadi maka masyarakat akan ikut teredukasi secara politik dengan baik, sehingga pada level kognitif (penetahuan) menjadi rujukan sikap pada level afektif.
Isu atau wacana yang sering di wacanakan adalah isu-isu negatif yang merupakan varian strategi menyerang dengan tujuannya melemahkan lawan politik, namun dalam komunikasi politik secara semiotic semakin tinggi serangan yang dilancarkan dengan wacana negatif maka bukan lagi menimbulakn antipasti dari khalayak akan tetapi sebaliknya menimbukan simpati terhadap dari khalayak terhadap lawan yang dijolimi.
Pemanfaatan konflik
Mengamati konflik di setiap pilkada sesungguhnya tidak selalu negatif dan merusak. Dari prespektif teori konflik, sosiologi Amerika Lewis Coser (1913-2003) dalam artikel Dr. Gungun Herianto dengan judul Meredam Api Pilkada memandang konflik tidak selalu merusak sistem sosial. Konflik dan integrasi sebagai dua sisi yang memperkuat dan memperlemah satu dengan yang lain.
Coser membedakan dalam dua tipe dasar konflik yakni konflik realistik dan non realistik. Konflik realistic adalah konflik memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat material. Seperti sengketa memperebut posisi kekuasaan yang berimbas pada pengelolaan kekuasaan. Sehingga konflik semacam ini ketika usai pilkada maka proses sengketa pilkada akan dilimpahkan pada ranah hukum.
Namun konflik nonrealistic adalah konflik yang dimunculkan oleh keiginan yang tidak rasional yang cenderung bersifat ideologis yang antara lain konflik antar kepercayaan, entnik hingga agama. Konflik sejenis ini sulit menemukan solusi dan merajut perberdamain.
Kita tahu bahwa suhu politik di kota Tual mulai memanas, diantara tim relawan dari masing-masing figure mulai melancarkan serangan dengan memanfaatkan konflik internal figure yang diwacanakan, mulai dari pencopotan Setada kota Tual (Adli Bandjar) oleh Walikota Tual (Adam Rahayaan), hingga konflik perebutan ketua DPD II Golkar kota Tual yang kopetitornya adalah Yunus Serang selaku wakil Bupati Maluku Tenggara dan Fadila Rahwarin selaku ketua DPRD Kota Tual.
Dari konflik-konflik tersebut dapat dimanfaatkan oleh masing-masing time relawan untuk mempersuasifkan proses kandidasi demi mendapatkan citra positif dari khalayak. Akan tetapi koflik tersebut bisa dipetakan dalam dua polah pemanfaatan konflik oleh masing-masing time relawan, yakni koflik konstuktif dan konflik deskruktif.
Pemanfaatan koflik konstruktif dengan tujuan sebuah kemajuan, artinya dengan adanya koflik maka bisa dapat mempersuasifkan keadan politik dengan kesadaran bernegosiasi dan melahirkan sebuah konsensi yang saling menguntukan. Sementara Konflik dekskrutif tidak akan memberikan sebuah kepastian, karena tujuannya untuk memcahkan kongsi kekuatan dan mensuport dengan sikap yang represif, disini yang sering menjadi korban konflik politik adalah partisipasi dari masyarakat grassroots dan cenderung ideologis.
Kampanye pencitraan dengan polah isu-isu negatif yang bersumber dari konflik personal figure yang diwacanakan sampai pada kenerja walikota selama ini. Artinya seluru data dan infirmasi di munculkan ke permukaan untuk mendelegitimasi lawan politik dan memungkinkan untuk diperdebatkan pada ruang-ruang media arus utama sampai pada ruang-ruang media sosial. Serangan bisa saja pada petahana Adam Rahayaan atau kepada Adli Bandjar dan Yunus Serang.
Sementara itu kampanye hitam yang juga sulit hindari yang diproduksi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawabkan atas rumor dan gossip yang tidak pasti sumber informasi. Namun tetap digunakan sebagai senjata untuk memperlemah lawan politik. bahkan dengan isu seperti ini sering bergerak pada operasi gelap dan tak tersentuh oleh proses dialetika yang baik, biasanya pada media sosial sering diperankan oleh akun-akun palsu yang identitasnya tidak jelas, dan ini sangat massif dilakukan. Inilah disebut dengan prpoganda yang tidak professional dengan melahirkan stigma buruk terhadap lawan-lawan politik.
Dari kondisi opini yang dikanalisasikan tentu akan memiliki tujuan yang akan menjadi target dari semua competitor politik yang tidak lain adalah mempengaruhi presepsi khalayak, namun kita tahu seberapa jauh intensitas opini yang lancarkan kepada khalayak atau kelompok target opinion tersebut.
Pergulatan opini seperti ini dengan tujuan mempengaruhi opini publik maka pada titik kulminasi suda pasti ada tingkat penolakan dan penerimaan dari khlayak akibat opini yang diwacanakan. Maka saatnya mulailah para relawan dari figure yang diwacanakan seharusnya tidak lagi mewacakan isu-isu negatif yang mengaharah pada penghakiman terhadap lawan politik tertentu dan setidaknya dari masing-masing competitor politik memberikan literasi politik yang baik kepada khlayak agar khlayak tidak terdisonansi dengan isu-isu yang memiliki efek domino dan melahirkan konflik yang berkepanjangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIES NATALIS GMNI ke 66

REFLEKSI HARI LAHIR GMNI Kita harus berani mengoreksi diri dengan cara menghilangkan praktik-praktik yang mengkhianati prinsip Bhinneka...