Senin, 23 Maret 2020

DIES NATALIS GMNI ke 66

REFLEKSI HARI LAHIR GMNI
Kita harus berani mengoreksi diri dengan cara menghilangkan praktik-praktik yang mengkhianati prinsip Bhinneka Tunggal Ika, apalagi sebatas memanfaatkan situasi² tertentu hanya kepentingan kelompok semata.

Melihat kondisi bangsa akhir², tidak sedikit orang menggunakan jargon² sprti "saya pancasilais" NKRI harga mati, dll, namun paraktiknya tdk menunjukan nilai² kheBhinekaan.

Praktiknya, secara tekstual, fenomena sosial politik yang sering terjadi adalah ketika pengghianat bangsa in, sering mengemas narasi² yang dianggap bangsa ini dalam kondisi emergensi, jdi harus diselamatkan, harus dilakukan pencegahan dini, namun realitas menunjukan ada teks² yang dipoles dgn bagus, statemen² yang menghipnotis, seakan bangsa ini dalam kondisi kritis dn seterusnya.

Sampai² mereka mencoba membenturkan agama dengan ideologi negara, sehingga dalam konteks medan wacana, terjadi pertarungan sengit antarkepentingan kelompok terntentu, dan rakyat terus ditakut takuti dengan wacana² yang menyesatkan,,

Rakyat terus di adu domba dengan berbagai faham yang menyesatkan, entah itu faham radikal, fundamental atau apalah namanya itu, bahkan ada pula yang menggelorakan fanatisme pancasila, kepada rakyat, sehingga terbentuklah polarisasi kekuatan ditengah² rakyat, antara pro dan kontra.

Dan ketika terjadi seperti ini maka tentu kelompok² penghianat bangsa ini menjadikan sebagai cela utk mengkapitalisasi demi kepentingan kelompok mereka, mereka sepertinya melihat peluang seperti ini sebagai kekuatan untuk mereka terus eksis dn menikmati kekacawan ditengah² rakyat.

Namun apa yang terjadi ketika bangsa ini dan saat ini di landa musibah yang sangat mengerikan dari wabah virus corona, apakah kita semua saat ini masi dalam konsentrasi rasa fanatisme kita untk mempersoalan setiap problem sosial tentang bangsa ini, ntah itu persoalan politik, ekonomi, dan lain sebagainya.

Itu sangat mustahil ketika kita dalam satu suasana yang mencekam dan masi tetap tegar dengan persoalan kefanatismeaan kita. Sebab disamping wabah corona ini mengguncangkan dunia, termasuk bangsa ini, tentu yang ada dalam pikiran kita adalah persoalan bagai mana kita bisa bertahan dan terhindar dari wabah yang membahayakan ini.

Sementara ditengah² maraknya wabah ini tentu kita tidak tau, bahwa bisa saja dan mungkin saja terjadi banyak sekali penghianat bangsa memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan mereka, baik itu persoalan politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya.

Kita sebagai rakyat awam, tentu dengan cara pandang subjektif, tentu akan menjadi objek permainan para pecundang bangsa ini. Sehingga diharapkan semua kader dn alumni melihat ini tidak hanya sebatas pada kacamata fanatisme yang berlebihan, apalagi suda terjerembab at terkonstuk dalam wilayah fanatisme subjektif, ini tentu sangat memprihatikan ketika tidak menggunakan logika rasional dan kritis dalam menyikapi problem bangsa saat ini.

Semoga DIES NATALIS GMNI yang ke 66 ini menjadikan GMNI menjadi organisasi yang berada ditengah² berbagai fanatisme rakyat atas permainan kelompok² pecundang bangsa ini, dan menjadi penyejuk yang terukur dan dapat menyatukan berbagai perbedaan faham yang menyesatkan.

Semoga semua kader GMNI, dn alumi, serta seluruh rakyat Indonesia terselamatkan dari wabah ini, dan kembali mengokohkan persatuan dan keutuhan bangsa yang tidak sebatas lewat kata² dan wacana belaka, tapi dengan tindakan nyata, eksen nyata.

Selamat hari lahir GMNIku yang ke 66, GMNI rumah perjuanganku

GMNI Jaya....
MARHAEN Menang....

Merdeka....💪💪

Jumat, 20 Maret 2020

MERANGKUL KELOMPOK MARGINAL, MENGUATKAN PARTSIPASI POLITIK

MEMPERTEGAS KOHESI KEKELUARGAAN 
DALAM DEMOKRASI ELECTORAL


(Samdar Rery)

Dambaan setiap orang untuk menghadirkan keharmonisan keluarga adalah cita-cita bagi setiap orang, keinginan memupuk solidaritas keluarga menjadi harapan dan impian yang selalu terlintas dibenak siapa saja, akan tetapi harapan tersebut bukanlah hal mudah seperti membalik telapak tangan.

Keluarga adalah entitas sosial yang menjadi kekuatan atau basis sosial yang perlu dijaga dan dilestariakan dengan baik. Karena dengan ikatan keluarga merupakan salah satu modal sosial yang memberikn dampak positif terhadap dinamika sosial, ini perlu dibina dan dilestarikan dengan baik.

Kini salah satu fenomenah sosial yang selalu muncul pada saat momentum demokrasi adalah pergantian kepalah daerah limah tahunan. Mulai dari pencalonan Gubernur, Bupati, Walikota, selalu saja terjadi perdebatan sengit yang mengedepankan kepentingan kelompok tertentu.

Persoalan yang mendasar ketika menjelang perhelatan dan pergantian kepemimpinan di daerah, disini terlihat kepentingan politik mengalir sedemikian rupa hingga mengabaikan rasionalitas dan keluarga di tengah-tengah masyarakat homogen. Sehingga mengakibatkan kohesi keluarga menjadi pudar, bahkan diabaikan demi perebutan kekuasaan politik semata. Ini mencerminkan atmosfer politik yang arahnya berlawanan dengan norma dan nilai-nilai adat yang ada di setiap daerah, terutama di Papua.

Politik Mereduksi Kohesi Keluarga

Mengamati sirkulasi pergulatan kekuasaan di Papua, terdapat 11 Kabupaten Kota yang ikut pemelihan kepala daerah pada 2020, tentu membutuhkan konsentrasi penuh dari pihak penyelenggara dalam hal ini KPUD dan BAWASLU Papua. Sebab proses pemilihan kepala daerah di Papua pada umumnya sering terjadi konflik yang sulit teratasi, konflik yang sering terjadi mulai dari konflik rasional hingga koflik irasional. 

Konflik rasional sangat berkaitan dengan konflik konstruktif yang dapat memberikan pengaruh positif pada proses pemelihan, dalam hal persoalan yang berkaitn dengan regulasi dsb, namun yang menjadi kekahwatiran adalah konflik irasional atau konflik destruktif, konflik semacam ini tentu sangat rentan terjadi pada saat proses pemelihan, dimana konflik sulit diselesaikan, dan cenderung ideologis, sehingga membutuhkan waktu yang panjang untuk mengatasi. Nah konflik semacam ini sering terjadi di daerah Papua. 

Di Papua banyak sekali terjadi persoalan yang patut diperhatikan. Yang menjadi embrio retaknya kohesi kekeluargaan adalah persoalan politik kekuasaan. Dimana elit-elit politik banyak sekali berasal dari kalangan keluarga, mulai dari paman, bibi atau ponakan yang bahkan sebagaian pendukung dari rifalitas tertentu, tetapi juga sebagian dari mereka maju sebagai calon gubernur, bupati dan walikota.

Mereka memiliki kepentingan masing-masing maju sebagai kandidat untuk memperebutkan jabatan atau kekuasaan sebagai kepala daerah, kita tahu bahwa homogenitas kultur di Papua memiliki kohesi yang cukup kuat akan tetapi kehadiran para kompetitor politik kekuasaan yang terkesan parokial tersebut dapat mereduksi kohesi atau ikatan keluarga. Mulai dari level elit politik hingga sampai pada level grassrut atau keluarga sebagai kelompok pendukung.

Dalam proses komunikasi politik problem tersebut selalu saja mengabaikan keluarga bahkan terjadi dilematis dan konflik berkepanjangan. Konflik semacam ini mindstreamnya berkutat  pada kepentingan pragmatis semata dan mengabaikan rasionalitas sebagai dasar pijak. Artinya masing-masing kelompok kepentingan memiliki ideologi praktis yang tujuannya hanya pada kepentingan pragmatis semata, dan mengakibatkan dekadensi (kemerosotan moral) diatara sesama.

Sehingga para elit politik dan keluarga masing-masing menampilkan ketidak keharmonisan komunikasi, baik komunikasi verbal maupun nonverbal, dimana interaksi diantara mereka dipertontonkan ditengah-tengah masyarakat luas yang tidak mencerminkan pelaku komunikator politik yang baik, juga sering terjadi interkasi saling menyapa akan tetapi secara semiotika terkesan komunikasi yang pasif dan memberikan pesan ketidakpekaan pada saat berinteaksi.

Dalam kondisi ini sangat diskursif dan terlihat fluktuasi komunikasi bahwa keluarga baik pendukung maupun kontra mengalami disonansi kognitif dan terjadi pelanggaran harapan sebagaimana dijelaskan oleh Jude Burgoon dengan teorinya Expectation Violatioan. Teori pelanggaran harapan memandang bahwa dalam hal ini individu atau kelompok masyarakat menemukan performance elit lokal baik dalam komunikasi verbal maupun nonverbal tidak sesuai dengan harapan mereka.

Sedangkan dalam teori disonansi kognitif yang dikembangkan oleh Leon Festinger menjelaskan situasi psikis yang tidak menyenangkan sebagai akibat kesadaran bahwa mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang telah diketahui sebelumnya atau berbeda dengan opini kebanyakan orang. Disinilah letak disonansi kognitif pada masyarakat evav pada saat mengahadapi gempuran antara politik kekuasaan dan kohesi kekeluargaan. Kerangka berfikir selalu ada pada pilihan yang ambigu.

Dalam kosmologi masyarakat Papua bahwa pelanggaran harapan terjadi maka akan memunculkan turbulence komunikasi yang dapat melahirkan ketidak harmonisan diantara para elite politik lokal dan keluarga atau masyarakat yang ada di Papua, bahkan dapat memicu konflik irasional yang berkepanjangan. Konflik semacam ini hampir semua distrik yang ada Papua mengalami hal yang sama, dan konflik seperti ini juga sulit untuk diselesaikan dalam jangka waktu singkat. Dampak dari ketidakharmonisan ini berawal dari proses pergulatan kekuasaan dan dapat mereduksi makna dari kohesi kekeluargaan. Sehingga kegagalan komunikasi politik yang ditransformasikan oleh para competitor politik memberikan implikasi buruk terhadap nilai-nilai budaya yang ada di Papua.

Maka dapat dipahami bahwa dalam proses komunikasi yang berlangsung antara elite politik lokal dengan keluarga dan masyarakat setempat secara keseluruhan mengalami situasi tidak nyaman bahkan tidak harmonis diantara mereka, baik sesama elit lokal, elit lokal dengan keluarga atau masyarakat maupun antara keluarga dengan keluarga dan antarkelompok masyarakat.

Kegiatan politik termasuk melakukan komunikasi politik sarat dengan kepentingan dan mengabaikan ikatan-ikatan kekeluargaan. Sehingga kepentingan yang dimaksud disini adalah pragmatis dan cenderung orientasi keuntungan praktis yang diambil dari masyarakat atau kelompok yang tendensius tersebut.

Yang menjadi krusial dari problematika politik elit lokal adalah para elit politik lokal menjadikan keluarga sebagai objek politik semata, (bukan sebagai subjek politik) yang hanya diarahkan untuk kepentingan pragmatis belaka, namun setelah mendapat apa yang menjadi tujuan akhir dari politik maka keluarga dan lawan politik diabaikan. Seharusnya keluarga dijadikaan sebagai subjek politik, sehingga ada politik pencerahan yang mengedepankan etika komunikasi politik diantara sesama dan menyatukan segala perbedaan.


Transformasi Pesan Politik

Dalam komunikasi politik dapat dicermati bahwa para komunikator politik gagal mentrasformasikan pesan politik yang baik terhadap masyarakat dan keluarga bahkan orang-orang ada disekitarnya. Pesan politik yang ditransformasikan adalah politik praktis yang cenderung mengarah pada uapaya untuk menguasai dan melemahkan lawan politik ketika menjadi pengendali daerah dalam hal ini bupati dan walikota.

Dari kondisi demikian dapat dicermati bahwa para elit politik lokal dengan polah komunikasi yang bersifat asimetris seperti ini juga melahirkan budaya baru yang mengedepankan kepentingan sesaat dan melemahkan kohesi pada nilai-nilai budaya dan adat yang ada. Sehingga juga berimplikasi pada reduksinya mentalitas pembangunan di daerah. Akibat tidak terkoneksinya budaya dan norma-norma adat sebagai modal sosial tersebut.

Maka yang terjadi pada masyarakat dan keluarga yang berlawanan arus mengalami apa yang disebut lingkar kebisuan. Meminjam istilah dalam bukunya Anwar Arifn yakni Opini Publik menjelaskan konsep the spiral of silence bahwa individu mengalami ketakutan dengan adanya tekanan dari lawan politik, maka membuat individu tersebut membisu dan tak berdaya dalam hal apatis saat merespon proses pembangunan di daerah. Masyarakat dan keluarga yang berlawanan tidak berpartisipasi pada proses pembangunan kedepan. Salah satu kegagalan pembangunan daerah adalah ketidakikutsertaan masyarakat dalam mendorong terciptanya pemerintahan yang baik (good governace).

Hal ini perlu adanya literasi dan praktik komunikasi politik yang mengedukasi masyarakat untuk meruba pradigma politik yang sedang kronis tersebut, dan dibutuhkan peran tokoh sentral dari masing-masing kelompok yang dikategorikan sebagai komunikator politik elit lokal harus mentrasformasikan pesan-pesan politik yang dapat memersuasi polah pikir masyarakat menuju masyarakat yang mencerminkan masyarakat yang berbasis adat yang menjunjung tinggi nilai dan norma kebersamaan dalam berpolitik, sehingga kedewasaan berpolitik dan memahami nilai dan norma-norma adat dapat terintegrasi dengan baik.

KOMUNIKASI POLITIK

KAMPANYE DALAM KOMUNIKASI POLITIK

A. Pengertian Kampanye
Roger dan Storey mendefenisikan kampanye sebagai serangkayan tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada ukuran waktu tertentu. Pfau dan Parot (1993) memiliki rumusan tentang kampanye sebagai berikut, kampanye adalah suatu proses yang dirancang secara sadar, dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang ditetapkan.

Kampanye dalam komunikasi adalah tindakan komunikasi yang terorganisir yang diarahkan pada khalayak tertentu, pada periode waktu tertentu guna mencapai tujuan tertentu.
Kampanye dalam politik setiap kandidat atau peserta berhak melakukan kampanye sesuai ketentuan pertaturan perundang-undangan yang berlaku dengan tujuan untuk menarik pemilih sebanyak-banyaknya. Kampanye pemilu dilakukan dengan perinsip pembelajran bersama dan bertanggung jawab.

Kampanye pemilu dilaksanakan oleh pelaksana kampanye dan didukung oleh petugas kampanye serta diikuti oleh peserta kampanye. Pelaksana kampanye terdiri atas pengurus partai poltik, calon anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten /Kota, serta juru kampanye dan satgas. 

Peserta kampanye adalah warga masyarakat pemilih, sedangkan yang dimaksud dengan petugas kampanye adalah seluruh petugas yang memfasilitasi pelaksanan kampanye.

B. Jenis Metode Kampanye
Kampanye adalah tindakan komunikasi yang terorganisir yang diarhkan pada khalayak tertentu, pada periode waktu tertentu, guna mencapai tujuan tententu. Charles dan U Larson membagi tiga jenis kampanye, yaitu sebagai berikut. 1. Product oriented campagns. Adalah kampanye yang berorientasi pada produk umumnya terjadi dilingkaran bisnis. Motifasinya memperoleh keuntungan finansial. 2. Candidat oriented campaigns adalah kampanye yang berorientase pada kandidat, umumnyadimotifasi oleh hasrat untuk memperoleh kekuasaan politik, jenis kampanye ini sering disebut sebagai political campaigns. 3. Ideologically campaigns adalah jeneis kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan sering kali berdimensi perubahan sosial. Cakupan jenis kampanye ini sangat luas, mulai dari kampanye dibidang kesehatan (missal Corona atau covid19, HIV AIDS, menyusui dengan ASI dsb) 

Menurut Pfau dan Parrot (1993) ada empat aspek kampanye persuasif yang tidak dimiliki tindakan persuasif perorangan adalah sebagai berikut. 1. Kampanye secara sistematis berupaya menciptakan tempat tertentu dalam pikiran khalayak tentang produk, kandidat atau gagasan yang disodorkan. 2. Kampanye berlangsung dalam berbagai tahapan, mulai dari menarik perhatian khlayak, menyiapkan khalayak untuk bertindak hingga akhir mereka melakukan tindakan nyata. 3. Kampanye juga mendramatisasi gagasan-gagasan yang disampaikan pada khalayak dn mengundang mereka untuk terlibat, baik secara simbolis maupun praktis, guna mencapai tujuan kampanye. 4. Kampanye juga secara nyata menggunakan kekuatan media massa dalam upaya menggugah kesadaran hingga mengubah perilaku khalayak. 5. Kampanye memiliki karakteristik khas yang membedakan dengan proganda, 

Menurut Venus (2004) diantara perbedaanya tersebut adalah sebagai berikut Sumber kampanye selalu dapat di identifikasi dengan jelas, yakni para aktor politik yaitu para caleg, Paslon Cagub, Cabup, Calkot. meskipun di hadapan masa yang dianggap sebagai sumber justru para penyanyi atau penghibur lain yang ikut tampil di panggung, karena memang itulah salah satu daya tarik untuk mempengaruhi audiens kampanye.

Pelaksana kampanye selalu terikat dn di batasi dengan waktu, Sifat gagasan selalu terbuka untuk diperdebatkan khalayak. Modus penerimaan pesan bersifat sukarela atau persuasif saja tanpa paksaan, padahal yang ideal, seorang menjatuhkan pilihan politik sebaiknya dipandu referensi yang rasional, argumentatif, kritis, dan terbuka setelah dinilai kualitas kandidat melalui dialog terbuka. Modus kampanye diatur kode etik/standar etika. dalam hal ini menjaga kemungkinan sesama kandidat saling mendeskreditkan yang bersifat menyerang satu dengan yang lain, dan keluar dari aturan main yang suda diatur bersama, atau keluarnya pernyataan ideologis yang berhadapan dengan ideologi negara, namun ini amat minim terjadi.

Sifat kepentingan untuk mepertimbangkan kepentingan pihak lain, artinya mereka yang terjun ke politik suda seharusnya mengutamakan motivasi umum bahwa politik adalah instrumen untuk mengabdi dan mewujudkan kepentingan publik yakni kesejahteraan rakyat

C. Tujuan Kampanye
Tujuan kampanye memiliki pengaruh atau efek yang di inginkan kepada khalayak sasaran adalah efek kognisi, afektif, dan konatif atau behavioral adalah sebagai berikut
1. Efek kognisi adalah tujuan kampanye ketika pesan kampanye dikomunikasikan maka tentu efek yang diharapkan adalah pengetahuan akan informasi yang diterimah oleh komunikator politik, baik langsung maupun tidak langsung, pada tahap ini ketika audiens suda memiliki pengetahuan tentang pesan-pesan politik yang diterima maka munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan atau meningkatkan pengetahuan khalayak terhadap suatu pesan politik yang diterima
2. Pada tahap berikutnya adalah tahap perubahan afektif atau sikap. Saarannya adalah memunculkan simpati, rasa suka, kepedulian atau keberpihakan khalayak pada suatu pesan politik atau isu politik yang menjadi tema kampanye.
3. Pada tahap terakhir adalah efek konatif/behavieoral adalah ketika efek kognisi dan afektif suda dilalui maka tentu efek yang diharapkan adalah mengubah perilaku audiens atau khalayak secara kongkrit dan terukur, tahap ini menghendaki adanya tindakan tertentu yang dilakukan sasaran kampanye



REFERENSI
Heryanto Gun gun & Rumaru Sulhan. Komunikasi Politik Sutua Pengantar (Penerbit Ghalia Indonesia, Mei 2013

Kamis, 19 Maret 2020

METODE PENELITIAN KUANTITATIF #P6

Teman-teman untuk perkuliahan online kali ini saya telah membagi materi lewat media online di blog saya, dan teman materi untuk pertemuan kali ini kita masih bahas soal pendekekatan penelitian. na di dalam pendekatan penelitian kali ini akan kita bahas tiga pendekatan, diantaranya adalah pendektakan Positifistik, pendekatan Interpretif, dan pendekatan Kritis. dari tiga pendekatan ini akan di urai dalam bentuk file PPT, dan nanti teman-teman setelah pelajari tolong memberikan pertanyaan pada kolom komentar pada blog bagian bawah ini.

Pertanyaan teman-teman adalah bentuk keaktifan dalam proses perkuliahan oline, jika teman-teman memberikan pertanyaan dalam kolom komentar maka akan diberi nilai tambah untuk perkuliahan ini.

MK Audio Editing dan Mixing Pertemuan ke5

Terkait antisipasi wabah virus corona (covid19) bahwa perkulian dilakukan secara online dari ruma, berdasarkan himbawan kepala LLDIKTI wilayah XIV (16 Maret 2020) dan himbawan kampus STIKOM MUHAMMADIAH JAYAPURA pada tanggal 17 Maret 2020, Perkualian tetap berjalan namun lewat media online.

Sehingga saya mengupload materi perkuliahan di blog ini berupa PPT di bawah ini agar dapat di akses oleh mahasiswa dan dipelajari sebagai bentuk perkulian secara online.
Setelah membaca materi pada PPT di bawah ini, maka mahasiswa wajib memberikan pertanyaan pada kolom komentar di blog bagian bawah ini, atau bisa juga lewat via Whatsapp. sebagai bentuk keaktifan mahasiswa dalam proses perkulian online, dan bagi mahasiswa yang aktif memberikan pertanyaan akan diberikan nilai tamba pada setiap perkuliahan.

Jumat, 21 Desember 2018

MEDIA DALAM CENGKRAMAN KEKUASAAN

Derasnya arus informasi hingga menyesaki ruang2 sosial, dapat membuat kita sulit memilah mana yang objektif dan mana yang tidak objektif. Namun perlu kita ketahui bahwa media massa sebagai agen distribusi pesan yang paling efektif kini perlu kita bedah secara ilmiah.

Bahwa media tdk bisa berdiri sendiri, media bahkan tdk bebas nilai menentukan agenda publik, ruang media sangat sangat didominasi agenda kekuasaan,, media mulai memproduksi dan mendistribusi pesan2 kekuasaan untuk mempengaruhi opini publik, mengonfirmasi teori agenda setting dari McCombs dan Donald L. Shaw menyatakan bahwa media massa merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa. 

Disinilah pesan2 kekuasaan diproduksi dan didistribukan kepada publik demi memenuhi hasrat kekuasaan semata, media sebagai getakper kekuasaan, menyebarkan informasi positif dari kekuasaan sekaligus menangkal isu2 negatif dari kelompok oposisi.

Sehingga dalam konteks politik hari ini publik kita tentu mengamati apa yang diberitakan media terkait pilpres terlihat sangat subjektif, lihat saja media2 yang selama ini rata2 pemiliknya berada dalam kekuasaan, dan itu suda menunjukan betapa pradoksnya media melacurkan dirinya demi kekuasaan semata dan mengindahkan agenda publik, beberapa contoh kasus yang abai dari perhatian media, mulai dari aksi tuntutan guru honorer di depan Istana, reuni 212 d monumen nasional. 

Ini menunjukan bahwa ada hal yang patut diduga, sehingga mengonfirmasi kembali konsep2 kritikal teori yang memandang bahwa media suda menjadi perangkat kekuasaan,,, namun media mainstream rupanya lupa dan tak sadar diri dengan kehadiran media sosial sebagai salah satu ruang kebenaran publik yang bisa diakses siapa saja. 

Dengan hadirnya media sosial dapat merengut peluang dari media arus utama dari ruang publik, dan itu bisa jadi menjadi ancaman bagi media konfensional di ruang publik, media konfensional hilang kepercayaan dari publik. Apalagi sebatas lembaga survei yang hanya menemukan moment saat momentum politik 5tahunan,, mereka pasti akan digerogoti oleh hegemoni keluasaan, mereka akan melacurkan kesucian dan kredibilitas keilmuan yang mereka miliki demi uang dan uang, mereka hanya bisa digarap oleh kekuasaan sebagai lembaga partisan untuk melakukan apa yang dikehendaki penguasa.

Minggu, 25 November 2018

RINDU AYAH DALAM SEPIH


Ayah...
Malam ini dingin tanpa hangat merengut jiwa tak bedaya. Setiap asa di penghujung rindu, linangan air mata pertanda jiwa merindukan ayah yang jauh disebrang.

Ayah...
Malam ini desiran angin masih datang dengan cara yang sama, memantik rinduh tak bedaya pada ayah, jengkal demi jengkal menelusuri jalan panjang menuju histori bersamamu hingga tak kuasa dikala larut malam menyapaku. Tak peduli seberapa banyak ku menghabiskan waktu untuk memikirkan titahmu ayah.

Ayah...
Aku hanya ingin bercengkrama bersamamu lewat perenungan yang sepih tanpa suara, mungkin saja bersuara dalam diam dan menangis dalam kebisuan adalah satu-satunya cara sahut menyahut bercerita denganmu ayah yang jauh disana.

Ayah...
Senyum bahagiamu adalah inti dari hidupku, maafkan aku jika belum memberikan senyum bahagia kepadamu ayah😔🙏

DIES NATALIS GMNI ke 66

REFLEKSI HARI LAHIR GMNI Kita harus berani mengoreksi diri dengan cara menghilangkan praktik-praktik yang mengkhianati prinsip Bhinneka...